Kesultanan Palembang Darussalam adalah kerajaan Islam yang terletak di Palembang, Sumatra Selatan. Didirikan pada tahun 1659, kesultanan ini memainkan peran penting dalam sejarah Indonesia.
Artikel ini akan mengulas secara mendalam mengenai sejarah, para sultan yang memerintah, serta peninggalan bersejarah yang ditinggalkan.
Kesultanan Palembang Darussalam
Sejarah Kesultanan Palembang Darussalam
Awal Mula Terbentuknya Kesultanan
Setelah runtuhnya Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-13, wilayah Palembang menjadi pusat pertempuran dan persaingan antara berbagai kekuatan besar di Asia Tenggara.
Selama berabad-abad, Palembang berada di bawah pengaruh kerajaan-kerajaan besar seperti Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram. Kerajaan-kerajaan ini mempengaruhi struktur politik, budaya, agama dan spiritual di Palembang, namun mereka juga menghadapi tantangan dari berbagai kekuatan luar, termasuk dari Eropa.
Pada awal abad ke-17, Palembang mulai merasakan dampak langsung dari kedatangan bangsa Eropa. Kesultanan Demak, yang pada waktu itu sangat berpengaruh, memiliki pengaruh besar dalam menyebarkan Islam di wilayah Sumatra, termasuk Palembang.
Setelah kejayaan Demak, kekuasaan secara bertahap berpindah ke Mataram, yang juga mendirikan pengaruh di Palembang. Namun, selama periode ini, Palembang tetap mempertahankan otonomi tertentu, meskipun kerap kali berada di bawah tekanan dari kerajaan-kerajaan besar Jawa.
Pada tahun 1659, setelah beberapa konflik internal dan eksternal, Pangeran Adipati, yang dikenal sebagai Ki Mas Hindi atau Sri Susuhunan Abdurrahman, mendeklarasikan berdirinya Kesultanan Palembang Darussalam.
Sri Susuhunan Abdurrahman menganggap penting untuk memerdekakan Palembang dari dominasi luar, serta memperkenalkan konsep pemerintahan Islam sebagai fondasi kekuasaannya.
Pendirian kesultanan ini menandai dimulainya era baru bagi Palembang, di mana Islam menjadi identitas kerajaan dan menjadi penggerak utama dalam struktur pemerintahan.
Pendirian Kesultanan Palembang Darussalam juga sangat dipengaruhi oleh kedatangan kapal-kapal VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dari Batavia pada tahun 1658. VOC, yang merupakan perusahaan dagang Belanda, memiliki ambisi besar untuk menguasai jalur perdagangan rempah-rempah di Asia Tenggara, termasuk di Palembang.
Kedatangan VOC, yang dipimpin oleh Cornelisz Ockerse, memaksa Palembang untuk memperkuat dirinya baik dari sisi politik maupun militer. Meski VOC berusaha menguasai Palembang, kesultanan ini berhasil mempertahankan kemerdekaannya dalam beberapa pertempuran.
Dengan demikian, pendirian Kesultanan Palembang Darussalam bukan hanya hasil dari perjuangan lokal untuk merdeka, tetapi juga merupakan respon terhadap tantangan dari kekuatan kolonial yang mulai mengancam kedaulatan wilayah-wilayah Asia Tenggara, termasuk Palembang.
Pendiriannya menandai dimulainya sebuah kerajaan baru yang akan memainkan peran penting dalam sejarah politik, budaya, dan perdagangan di Indonesia.
Perkembangan dan Hubungan dengan VOC
Sejak awal abad ke-17, tepatnya pada tahun 1601, Palembang mulai menjalin hubungan perdagangan dengan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), sebuah perusahaan dagang Belanda yang memiliki ambisi besar untuk menguasai jalur perdagangan rempah-rempah di Asia Tenggara.
Palembang, yang merupakan pusat perdagangan penting di wilayah Sumatra, menjadi salah satu titik strategis dalam rute perdagangan antara dunia Timur dan Barat. VOC memanfaatkan kekayaan rempah-rempah yang ada di Palembang untuk memperkuat dominasi ekonomi mereka di kawasan ini.
Namun, meskipun hubungan perdagangan itu saling menguntungkan, ketegangan antara Palembang dan VOC tidak bisa dihindari. VOC dikenal dengan kebijakan yang sangat mengutamakan keuntungan bagi Belanda, yang sering kali memanipulasi kondisi ekonomi lokal untuk kepentingan mereka sendiri.
Hal ini membuat hubungan antara Palembang dan VOC semakin memburuk, terutama ketika VOC mencoba memaksakan monopoli perdagangan dan mengontrol jalur perdagangan rempah-rempah di kawasan tersebut.
Tindakan VOC yang sering dianggap semena-mena, seperti memaksakan harga yang rendah dan mengabaikan hak-hak lokal, semakin menambah ketegangan di antara keduanya.
Di sisi lain, Kesultanan Palembang yang dipimpin oleh Sultan Abdurrahman dan para penggantinya, berusaha untuk mempertahankan kedaulatan wilayahnya dan hak untuk berdagang secara bebas.
Ketegangan ini memuncak pada tahun 1659, ketika VOC mengambil langkah agresif dengan menyerang dan membakar Keraton Kuto Gawang, pusat pemerintahan dan simbol kekuasaan Kesultanan Palembang.
Serangan ini dilakukan sebagai respons terhadap perlawanan keras dari pihak Palembang terhadap dominasi VOC di wilayah tersebut.
Penyerangan dan pembakaran keraton menjadi titik balik dalam hubungan antara Palembang dan VOC, di mana kesultanan ini semakin menguatkan tekadnya untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan wilayahnya.
Setelah serangan tersebut, meskipun Palembang mengalami kerugian besar, namun kesultanan ini tidak menyerah.
Mereka terus berusaha untuk mempertahankan otonomi dan haknya sebagai kerajaan yang merdeka, meskipun VOC terus menekan untuk mendapatkan kontrol penuh atas perdagangan rempah-rempah.
Meskipun VOC seringkali memenangkan pertempuran, perlawanan dari Palembang menunjukkan bahwa kesultanan ini memiliki daya tahan yang luar biasa dan semangat untuk mempertahankan kemerdekaannya.
Ketegangan yang terus berlanjut ini akhirnya membuka jalan bagi perundingan-perundingan antara kedua belah pihak, meskipun banyak dari perjanjian yang dibuat di bawah tekanan VOC.
Pada akhirnya, meskipun kesultanan ini tetap ada, VOC berhasil memperoleh pengaruh besar di Palembang, yang pada gilirannya mengarah pada lebih banyak intervensi dari Belanda dalam urusan politik dan ekonomi lokal.
Namun, upaya perlawanan dari Kesultanan Palembang Darussalam tetap dikenang sebagai bagian dari sejarah penting perjuangan Indonesia melawan kekuasaan kolonial.
Para Sultan Kesultanan Palembang Darussalam
Berikut adalah daftar sultan yang memerintah Kesultanan Palembang Darussalam yang dikenang sejarah:
- Sri Susuhunan Abdurrahman (1659–1706):
Pendiri kesultanan dan sultan pertama. - Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago (1706–1718):
Putra dari Abdurrahman. - Sultan Agung Komaruddin Sri Teruno (1718–1724):
Juga putra Abdurrahman. - Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo (1724–1757):
Memperluas pengaruh Palembang. - Sultan Ahmad Najamuddin I Adi Kusumo (1757–1776):
Melanjutkan kebijakan ayahnya. - Sultan Muhammad Bahauddin (1776–1803):
Meningkatkan hubungan perdagangan. - Sultan Mahmud Badaruddin II (1803–1812, 1813, 1817–1821):
Sultan terakhir sebelum keruntuhan. - Sultan Ahmad Najamuddin II (1812–1813, 1813–1817, 1821–1823):
Memerintah selama masa-masa sulit. - Sultan Ahmad Najamuddin III (1819–1823):
Memerintah pada masa akhir kesultanan. - Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom (1821–1823):
Sultan terakhir sebelum penaklukan Belanda.
Peninggalan Bersejarah Kesultanan Palembang

Meskipun kesultanan ini telah berakhir, berbagai peninggalan sejarah masih dapat ditemukan:
- Masjid Agung Palembang:
Dibangun pada masa Sultan Mahmud Badaruddin I, masjid ini menjadi pusat kegiatan keagamaan dan simbol kejayaan kesultanan. - Benteng Kuto Besak:
Benteng pertahanan yang dibangun oleh Sultan Mahmud Badaruddin II, berfungsi sebagai pusat administrasi dan pertahanan. - Keraton Kuto Gawang:
Keraton pertama yang dibangun sebagai pusat pemerintahan, meskipun kemudian dibakar oleh VOC. - Kompleks Makam Gede Ing Suro:
Tempat peristirahatan terakhir para sultan dan keluarga kerajaan. - Rumah Limas:
Arsitektur tradisional Palembang yang menjadi ciri khas rumah bangsawan pada masa kesultanan.
Fakta Menarik
- Peran dalam Penyebaran Islam:
Kesultanan Palembang Darussalam berperan penting dalam penyebaran agama Islam di wilayah Sumatra Selatan dan sekitarnya. - Pusat Perdagangan Rempah-Rempah:
Palembang menjadi pusat perdagangan rempah-rempah yang menghubungkan berbagai wilayah di Asia Tenggara. - Hubungan Diplomatik:
Kesultanan ini menjalin hubungan dengan berbagai kerajaan dan negara, termasuk kerajaan-kerajaan di Jawa dan Malaya.
Kesimpulan
Kesultanan Palembang Darussalam meninggalkan warisan budaya dan sejarah yang kaya. Peninggalan arsitektur, tradisi, dan peranannya dalam penyebaran Islam menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas Palembang saat ini. Memahami sejarah kesultanan ini memberikan wawasan tentang perjalanan panjang budaya dan peradaban di Indonesia.
Anda mungkin menyukai ini: Sangrama Wijayatunggawarman
Penting untuk diketahui: Ikuti Program Pelatihan Meditasi Online!